Arti Pengertian Ashobiyah dan Hadits Tentang Ashobiyah

Pengungsi Rohingya
Ilustrasi, pengungsi Rohingya terkatung-katung dilaut ditolak beberapa negara
Oleh Ust. Syamsudin Ramadhan
Definisi ‘Ashabiyyah

Definisi, Arti atau Makna Ashobiyah


Beritaislam - Secara literal, ‘ashabiyyah berasal dari kata ‘ashabah yang bermakna al-‘aqaarib min jihat al-ab (kerabat dari arah bapak).  Disebut demikian dikarenakan orang-orang Arab biasa menasabkan diri mereka kepada bapak (ayah),     dan ayahlah yang memimpin mereka, sekaligus melindungi mereka.  Adapun kata “al-‘ashabiyyah dan at-ta’ashshub” bermakna "al-muhaamat wa al-mudaafa’at” (saling menjaga dan melindungi).  Jika dinyatakan, “ta’ashshabnaa lahu wa ma’ahu” : nasharnaahu (kami menolongnya)”. [Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 1/602]


Di dalam Kitab An-Nihaayah fi Ghariib al-Atsar dinyatakan, “al-‘ashabiyyu man yu’iinu qaumahu ‘ala al-dhulm): orang yang ashabiyyah adalah orang yang menolong kaumnya dalam kedzaliman). [An-Nihayah fi Ghariib al-Atsar, juz 3/482]

          Adapun menurut syariat, yang dimaksud dengan al-‘ashabiyyah adalah al-mu’awanah ‘ala al-dzaalim.  Di dalam Kitab Faidl al-Qadiir, disebutkan:

 (ليس منا من دعا إلى عصبية) أي من يدعو الناس إلى الاجتماع على عصبية وهي معاونة الظالم (وليس منا من قاتل على عصبية وليس منا من مات على عصبية) قال ابن الأثير : العصبي الذي يغضب لعصبيته ويحامي عليهم والتعصيب المدافعة والمحاماة وقال ابن تيمية : بين بهذا الحديث أن تعصب الرجل لطائفة مطلقا فعل أهل الجاهلية محذور مذموم بخلاف منع الظالم وإعانة المظلوم من غير عدوان فإنه حسن بل واجب فلا منافاة بين هذا وبين خبر انصر أخاك إلخ.

(Bukanlah golongan kami, siapa saja yang menyerukan kepada ‘ashabiyyah), yakni orang yang menyeru manusia untuk berkumpul di atas ‘ashabiyyah, yaitu:  menolong orang yang dzalim. (Bukanlah golongan kami, siapa saja yang berperang di atas ‘ashabiyyah, dan bukan golongan kami, barangsiapa mati di atas ‘ashabiyyah).  Imam Ibnu al-Atsir berkata, “Al-‘Ashabiy (orang yang ashabiyyah) adalah orang yang marah karena keashabiyyahannya (kaumnya), dan melindungi mereka (karena keashabiyyahannya). At-Ta’shiib : al-Mudaafa’ah wa al-Muhaamaat (saling melindungi dan menjaga). Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jelaslah berdasarkan hadits ini, bahwasanya ta’ashshubnya seorang laki-laki kepada suatu kelompok, secara mutlak, adalah perbuatan kaum jahiliyyah yang harus dijauhi dan dicela; dan berbeda dengan mencegah orang yang dzalim dan membantu orang yang didzalimiy bukan karena permusuhan, maka perbuatan ini adalah terpuji bahkan wajib.   Tidak ada saling menafikan antara hadits ini dengan hadits, “Tolonglah saudaramu yang dzalim maupun yang didzalimi”…[Faidl al-Qadiir, juz 5/492]
       

Penjelasan senada juga disampaikan oleh Imam Mubarakfuriy dalam Kitab ‘Aun al-Ma’buud:

: قَالَ الْمَنَاوِيُّ : أَيْ مَنْ يَدْعُو النَّاس إِلَى الِاجْتِمَاع عَلَى عَصَبِيَّة وَهِيَ مُعَاوَنَة الظَّالِم . وَقَالَ الْقَارِي : أَيْ إِلَى اِجْتِمَاع عَصَبِيَّة فِي مُعَاوَنَة ظَالِم . وَفِي الْحَدِيث " مَا بَال دَعْوَى الْجَاهِلِيَّة " قَالَ صَاحِب النِّهَايَة : هُوَ قَوْلهمْ يَا آلُ فُلَان كَانُوا يَدْعُونَ بَعْضهمْ بَعْضًا عَنْ الْأَمْر الْحَادِث ( مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّة ) : أَيْ عَلَى بَاطِل ، وَلَيْسَ فِي بَعْض النُّسَخ لَفْظ عَلَى ( مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّة ) : أَيْ عَلَى طَرِيقَتهمْ مِنْ حَمِيَّة الْجَاهِلِيَّة .

Al-Manawiy berkata, “Yaitu, orang yang menyeru manusia untuk berkumpul di atas ‘ashabiyyah, yaitu menolong orang yang dzalim.  Imam Al-Qaariy menyatakan, “Yakni,  perkumpulan ‘ashabiyyah dalam menolong orang-orang yang dzalim. Di dalam hadits disebutkan “maa baala da’wa al-jaahiliyyah”, berkata pengarang Kitab An Nihayah, “Yakni seruan mereka, wahai kaum fulaan, yang mana mereka menyeru satu dengan yang lain terhadap suatu urusan yang terjadi. (Siapa saja yang berperang di atas ‘ashabiyyah): yakni berperang di atas kebathilan.  Di sebagian naskah tidak ada lafadz (man maata ‘alaa ‘ashabiyyah): yakni (mati) di atas jalan menjaga kejahiliyahan”. [‘Aun al-Ma’buud, juz 11/161]

Makna syar’iy ‘ashabiyyah seperti di atas disarikan dari beberapa hadits Nabi saw berikut ini.   Imam Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Watsilah bin al-Asqa’ ra, bahwasanya ia mendengar bapaknya berkata:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْعَصَبِيَّةُ قَالَ أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ

Saya (bapak Watsilah bin al-Asqa’ ra) bertanya, “Yaa Rasulullah, apa ‘ashabiyyah itu? Beliau menjawab, “Kamu menolong kaummu atas kedzaliman”. [HR. Imam Abu Dawud]
       
Imam An Nasaa’iy meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abbad bin Katsir al-Syamiy dari seorang perempuan yang bernama Qusailah, bahwasanya ia berkata, “Aku pernah mendengar ayahku berkata, “

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ قَالَ لَا وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ

“Saya bertanya kepada Nabi saw, seraya berkata, “Yaa Rasulullah apakah termasuk ‘ashabiyyah, seorang laki-laki yang mencintai kaumnya?  Nabi saw menjawab, “Tidak.  Tetapi, termasuk ‘ashabiyyah adalah seorang laki-laki menolong kaumnya dalam kedzaliman”.[HR. Imam An Nasaaiy]
       
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan ‘ashabiyyah adalah membela kelompok atau kaumnya dalam urusan kebathilan.

Hukum ‘Ashabiyyah 

Ashabiyyah (menolong atau membela kelompok atau kaumnya dalam kebathilan) termasuk perbuatan haram.  Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari Jubair bin Muth’im ra bahwasanya Nabi saw bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

Tidaklah termasuk golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ‘ashabiyyah, dan bukanlah termasuk golongan kami, siapa saja yang berperang di atas ‘ashabiyyah, dan bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang mati di atas ‘ashabiyyah”. [HR. Imam Abu Dawud]
         
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ

Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memecah belah Jama’ah, lalu ia mati, maka matinya (seperti) mati jahiliyyah.  Dan barangsiapa berperang di bawah panji ‘ashabiyyah, marah karena ‘ashabiyyah, atau menyeru kepada ‘ashabiyyah, atau menolong kerabat (dalam kedzaliman), kemudia ia terbunuh, maka matinya adalah mati jahiliyyah.  Dan siapa saja memerangi umatku, membunuh orang yang baik maupun orang yang buruk dari umatku, dan tidak memperhatikan orang-orang mukminnya, tidak pula memperhatikan orang yang membuat perjanjian, maka ia bukan termasuk golonganku, dan aku bukan termasuk golongannya”. [HR. Imam Muslim]
         
Imam An Nasaaiy menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari Jama’ah, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahil;iyyah.  Siapa saja memerangi umatku, membunuh orang baiknya maupun fajirnya, tidak memperhatikan orang Mukminnya, dan tidak memperhatikan orang yang memiliki perjanjian, maka aku bukan golongannya, dan barangsiapa berperang di bawah panji ‘ashabiyyah, atau menyeru kepada ‘ashabiyyah, atau marah karena ‘ashabiyyah, lantas ia terbunuh, maka matinya seperti mati jahiliyyah”. [HR. Imam An Nasaaiy]

Hadits-hadits di atas, dan masih banyak hadits yang lain, menjelaskan dengan sharih (jelas), bahwasanya ‘ashabiyyah adalah perbuatan haram.  Pasalnya, larangan ‘ashabiyyah disertai dengan adanya celaan dan ancaman dari Rasulullah saw; yakni mati seperti jahiliyyah dan bukan termasuk golongan Nabi saw.   Ini merupakan indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwasanya larangan meninggalkan ‘ashabiyyah bersifat pasti (haram).

Diantara perbuatan yang terkategori tindakan ‘ashabiyyah adalah membela bangsa dan negara, hanya karena alasan kebangsaan, tanpa memandang lagi apakah bangsanya benar atau tidak.   Membela keluarga dan kerabat meskipun mereka melakukan kedzaliman dan kefajiran.  Termasuk ‘ashabiyyah pula, membela kelompok atau partai yang jelas-jelas telah menyimpang dari ajaran Islam.  [Wallahu a’lam bish shawab]

Hadits Lain tentang Ashobiyah

Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah saw, kaum muhajirin berkumpul bersama Rasulullah saw. sehingga mereka banyak. Dalam rombongan muhajirin ada seorang lelaki yang suka berkelakar. Ia memukul pantas seorang anshar. Maka marah besarlah orang anshar itu sehingga keduanya saling memanggil temannya. Si anshar berteriak, ‘Hai orang-orang anshar!’ Sedang si muhajirin berseru, ‘Hai orang-orang muhajirin!’ Maka Rasulullah saw. pun keluar dan berkata, ‘Mengapa harus ada seruan ahli Jahiliyah? Kemudian Rasulullah saw. bertanya, ‘Ada apa gerangan dengan mereka?’ lalu diceritakan kepada beliau tentang seorang muhajirin yang memukul pantat seorang anshar. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Tinggalkanlah seruan Jahiliyah itu karena ia amat buruk’!” (HR Bukhari [3518]).

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, dari Rasulullah saw. bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang menampar-nampar pipi saat musibah, mengoyak-oyak pakaian dan meratap dengan ratapan jahiliyah,” (HR Bukhari [3519]).

Dari Ubai bin Ka’ab r.a, bahwa ia mendengar seorang pria berkata, “Hai keluarga fulan!” maka Ubay berkata kepadanya, “Gigitlah kemaluan bapakmu!” Ubay mencelanya terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan! Orang itu berkata kepadanya, “Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay) engkau bukanlah orang yang suka berkata keji” Ubay berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berbangga-bangga dengan slogan-slogan jahiliyah, maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadapnya,” (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [963]).

Masih dari Ubay r.a, ia berkata, “Dua orang beradu nasab pada masa Rasulullah saw, salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan lantas engkau ini siapa? Celakalah engkau! Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Dua orang saling berbangga nasab pada masa Nabi Musa, salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan -hingga ia menyebutkan sembilan nenek moyangnya- lantas engkau ini siapa? celaka engkau! Maka ia berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam.’ Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua laki-laki yang beradu nasab tadi. Adapun engkau wahai orang yang menisbatkan diri sampai kepada sembilan nenek moyangmu semuanuya berada dalam neraka dan engkaulah yang kesepuluhnya. Adapun engkau wahai orang yang menisbatkan diri kepada dua orang saja (yakni kepada ayah dan kakeknya saja) keduanya berada dalam surga dan engkaulah yang ketiganya’,” (HR Ahmad [V/128]).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kamu berbangga-bangga dri ala jahiliyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. Sesungguhnya diantara kalian ada yang mukmin lagi bertakwa dan ada yang fasik lagi celaka, kalian adalah anak keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Hendaklah mereka meninggalkan kebiasaan membangga-banggakan suku. Karena mereka hanyalah bara dari bara-bara api neraka atau mereka akan menjadi lebih hina dari pada seekor serangga yang mendorong kotoran dengan hidungnya,” (Hasan, Abu Dawud [5116]).

Kandungan Bab:

Haram hukumnya berbangga dengna nenek moyang dan nasab keterunan, khususnya dengan cara Jahiliyah dan pengagungan yang berlebihan. Allah telah mengabarkan bahwa pada asalnya manusia itu sama. Hanya saja mereka dibedakan kedudukannya dengan ketakwaan, Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesunggunya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal,” (Al-Hujarat: 13). 

Slogan Jahiliyyah amatlah buruk, barangsiapa berbangga-bangga dengannya maka balaslah dengan ucapan, “Gigit saja kemaluan bapakmu itu!” Sebagai peringatan dan teguran, dan tidak perlu mengganti kata kemaluan dengan kata-kata kiasan. Hadits inilah yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab r.a, ia berkata, “Barangsiapa berbangga dengna kabilah maka suruhlah ia menggigit atau mengisap kemaluan nenek moyangnya!” (HR Ibnu Abi Syibah [XV/33/19031]). 

Berbangga-bangga hanya dibolehkan dengan membanggakan Islam dan menisbatkan diri kepadanya, mengamalkannya, menerapkan syari’atnya dan mendakwahkannya. 

Kemuliaan seseorang terletak pada apa yang terlahir di dirinyanya bukan pada nasabnya. Sebagaimana dikatakan oleh al-Fadhl bin Abi Thahir, “Seseorang dipandang mulia apabila ia memiliki kemuliaan pada dirinya, kemuliaan seseorang bukanlah terletak pada nasabnya. Tidaklah sama orang-orang yang membangga-banggakan nasabnya dengan orang yang benar-benar memiliki kemuliaan.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/572-575.

[beritaislam.org]

Posting Komentar untuk "Arti Pengertian Ashobiyah dan Hadits Tentang Ashobiyah "

Banner iklan disini