Menakar Penggunaan Kaidah Fiqih Dalam Diskursus RUU KPK

Jokowi Jangan Lemahkan KPK

Oleh Ainul Mizan

Masih hangat menjadi bahan diskursus mengenai RUU KPK. Sebagian ada yang kontra hingga
mendesak untuk diterbitkannya Perppu KPK. Ada pula yang pro dengan RUU KPK. Fraksi PDIP
menolak presiden menerbitkan Perppu KPK (www.jurnalmuslim.com, Rabu 9/10/2019). Begitu pula
koalisi pendukung presiden bersikap negatif atas wacana Perppu.


Di tengah kegamangan presiden dalam diskursus ini, adalah seorang pengamat politik hukum,
Bambang Saputra menyatakan bahwa presiden harus tetap maju guna mensahkan RUU KPK. Saat
memutuskan presiden sudah yakin bahwa RUU ini bisa menyelesaikan persoalan korupsi. Akhirnya
Bambang mengutip sebuah kaidah fiqih yang menyatakan bahwa “sesuatu yang yakin itu tidak
dapat hilang hanya dengan keraguan” (www.aktual.com, 12/10/2019). Menurutnya, desakan –
desakan untuk menerbitkan Perppu itu adalah sebuah keraguan.

Cukup menarik pernyataan Bambang ini. Dalam diskursus KPK ini hingga ada kutipan kaidah fiqih
yang menjadi dasar argumentasinya. Alangkah indahnya bila para pemangku negeri tatkala
merumuskan regulasi undang – undang mendasarkan pada hukum – hukum fiqih Islam, tidak hanya
sebatas pada kaidah fiqih.

Mengenai kaidah fiqih yang dikutip dalam konteks diskursus KPK ini, ada beberapa catatan yang
harus menjadi perhatian sebagai berikut ini.

Dari aspek paradigmatik. Sebuah kaidah fiqih itu bukanlah sebuah dalil hukum. Keberadaan kaidah
fiqih merupakan bagian dari hukum Islam yang disimpulkan dari dalil. Sedangkan yang disebut dalil
hukum itu adalah ayat al – Qur’an, hadits Nabi, ijmak shohabat dan qiyas syar’i. Jadi kaidah fiqih itu
adalah sebuah produk hukum. Oleh karena itu, penggunaan kaidah fiqih sebagai landasan dalil
sebuah argumentasi, tentunya merupakan kesalahan paradigmatik.

Sebagai contoh, ada sebuah kaidah tentang hukum benda, yang menyatakan:

الاصل في الاشياء الاباحة مالم يرد دليل التحريم
Artinya: Hukum asal benda itu adalah boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Jika kaidah ini dijadikan dalil, tentu akan terjebak dalam polemik intelektual dengan beberapa
pertanyaan, diantaranya: apakah semua benda hukumnya boleh? Dalilnya mana? Benda ini itu
hukumnya apa, boleh atau haram?

Yang dikuatirkan adalah dengan hanya mendasarkan pada kaidah ini, lantas diambil kesimpulan
bahwa semua benda itu hukumnya boleh, dengan alasan tidak ditemukannya dalil yang
mengharamkan benda – benda tertentu.

Walhasil kaidah fiqih itu fungsinya sebagai sebuah kerangka berpikir untuk bisa digunakan dalam
menggali hukum yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram dari dalil – dalilnya secara
terperinci.

Dari aspek metodologi. Mengenai tindak pidana korupsi, pastinya hukumnya haram. Dalam sebuah
hadits Nabi SAW menyatakan:

من استعملناه على عمل ورزقناه رزقا فما اخذ بعد ذلك فهو غلول
Artinya: Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk suatu hal dan kami sudah memberikan gaji
kepadanya, maka apa saja yang diambilnya selain gaji tersebut, itu adalah harta khianat (hadits ini
dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al Bazar; statusnya hasan).

Ketika sudah maklum diketahui bahwa perbuatan korupsi itu haram, maka untuk mewujudkan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bersih dari korupsi, di dalam Islam ada kemaslahatan takmiliyyah. Suatu kemaslahatan penyempurna yang menutup celah dilakukannya sebuah pelanggaran. Hal demikian didasarkan kepada hadits Nabi SAW yang menyatakan:

الدين النصيحة لمن يا رسول الله؟ لله ولرسوله ولائمة المؤمنين وعامتهم
Artinya: Agama itu adalah nasehat. Bagi siapa ya Rasulullah? Rasul saw menjawab : Untuk Alloh,
RasulNya, para pemimpin dan bagi keseluruhan kaum mukmin (HR Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut, bahwa memberikan nasehat dan koreksi kepada para pemimpin
merupakan kewajiban agama. Adapun yang merupakan aktifitas memberi nasehat kepada
penguasa adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaatinya dalam kebenaran, dan
mengingatkan dengan kebenaran (kitab jamiul ulum wal hikam halm. 97, cet ke-2 Dar Kutub
ilmiyyah, Beirut).

Menilik diskursus RUU KPK, apakah adanya RUU KPK ini bisa memperkuat KPK dan fungsinya
sebagai lembaga anti rasuah ataukah justru melemahkannya? Di sinilah perlu adanya pengkajian.
Kalau memang di dalamnya RUU KPK itu ditemukan potensi – potensi pelemahan KPK maka
tentunya wajib dilakukan aktivitas untuk mengingatkan dan mengoreksi penguasa. Dan dalam
konteks ini sudah banyak kajian tentang potensi pelemahan KPK melalui RUU KPK, misalnya dari
ICW yang menurunkan hasil kajiannya bahwa ada 10 konsekwensi buruk bila disahkannya RUU KPKtersebut (www.//kabar24.bisnis.com/read/20191008/1156638/10-konsekwensi-buruk-bila-jokowi-tak-terbitkan-perppu-kpk).

Dari aspek penggunaan kaidah fiqih. Sebuah kaidah fiqih menyatakan bahwa:

اليقين لا يزال بالشك

Sesuatu yang yakin itu tidak bisa hilang karena keraguan.

Dalil yang mendasari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW yang artinya: “apabila kamu
menemukan sesuatu di perutmu sesuatu hal, maka tunggulah hingga keluar darinya, jangan keluar
dari masjid hingga kamu mendengar bunyi atau bau” (HR bukhori dan tirmidzi).

Konteks dari kaidah tersebut adalah persengketaan dalam sebuah masalah hingga persoalannya
menjadi jelas di dalam proses pembuktian perkara, dan atau terkait dengan keraguan untuk
menentukan hukumnya dalam suatu perkara.

Sebagai contoh penerapan kaidah tersebut, misalnya ada seseorang yang akan mendengar cumbu
rayu antar muda mudi dari balik dinding, atau ia melihat mereka berdua berada di dalam sebuah
kamar. Maka tidaklah bisa dengan persaksian seperti itu lantas ditetapkan pada pelaku dengan
sangsi zina. Dalam hal ini harus ada bukti akan perzinahan mereka, yakni disaksikannya masuknya
dzakar kepada vagina si wanita layaknya timba yang masuk ke dalam sumur, dan atau melalui
pengakuan dari pelakunya. Ada sebuah kaidah yang bisa diterapkan dalam hal ini yakni;

الظاهر الغالب وهو ما يغلب على الظن

Yang tampak secara dhohir itu adalah apa apa yang mengalahkan atas yang meragukan.

Mari sekarang kita melihat realitas yang terindera, sebelum ada RUU KPK, secara masif KPK telah
berhasil melakukan ott terhadap para pejabat yang melakukan korupsi. Baru – baru ini praktek jual
beli jabatan di lingkungan Kemenag yang melibatkan Rommy, begitu pula Menag, juga tersangkut.

Menpora Imam Nahrawi juga terjerat kasus korupsi dan terkena ott KPK. Lantas, muncul revisi
terhadap UU KPK, yang selanjutnya melahirkan gelombang protes yang meluas.

Dikatakan bahwa RUU KPK itu adalah sesuatu yang yakin akan memperbaiki kinerja pemberantasan
korupsi. Akan tetapi secara dhohir yang nampak di dalam RUU KPK tersebut ada upaya pelemahan
KPK. Buktinya KPK dalam melakukan penyadapan wajib ijin kepada dewan pengawas, dan status
KPK menjadi bagian eksekutif, petugas KPK statusnya sebagai ASN. Ini bentuk pengekangan
terhadap independensi KPK. Kesimpulannya yang dhohir itu harus dikuatkan.

Tinggal satu persoalan lagi, jika memang konsisten dengan kaidah al yaqiinu laa yuzaalu bi syak,
maka konsekwensinya adalah harus dihentikan upaya – upaya mempersekusi ulama, ustadz, dan
aktivis Islam, termasuk kriminalisasi terhadap ajaran Islam.

Bukankah tuduhan radikalisme dan intoleran yang ditujukan kepada mereka tidak berdasarkan
bukti kecuali hanya sebuah propaganda. Apakah mereka terbukti korupsi? Apakah mereka terbukti
menjual aset negara? Apakah mereka terbukti memecah belah bangsa dan umat? Yang pasti,
mereka hanya menyampaikan ajaran Islam yang baik dari Dzat Yang Maha Baik.

Penulis Adalah Seorang Guru tinggal di Malang Jawa Timur

Belum ada Komentar untuk "Menakar Penggunaan Kaidah Fiqih Dalam Diskursus RUU KPK"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Banner iklan disini