Inilah Paradoks PLTU: Sumber Listrik dan Sumber Polusi

Ilustrasi polusi udara (Unsplash/Chris Leboutillier)

Beritaislam - Dilansir dari tagar.id, Kelompok pemerhati lingkungan hidup mengajukan protes secara resmi kepada Bank Dunia karena terus memberikan dukungan keuangan untuk pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia. Hal tersebut dianggap melanggar janji sejumlah pemimpin negara untuk berhenti mendukung penggunaan bahan bakar fosil.

Anak perusahaan Bank Dunia di sektor swasta, International Financial Corporation (IFC), merupakan pendukung tidak langsung kompleks PLTU Suralaya di Banten melalui investasi ekuitasnya di Hana Bank Indonesia. Perusahaan tersebut merupakan salah satu penyandang dana proyek itu, kata koalisi kelompok lingkungan hidup pada Kamis, 14 September 2023.


PLTU Suralaya, yang merupakan PLTU terbesar di Asia Tenggara, memiliki delapan unit pembangkit yang beroperasi. Menurut rencana, pengembang proyek akan membangun dua pembangkit lagi yang diperkirakan akan melepaskan 250 juta ton karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan iklim ke atmosfer, kata kelompok tersebut dalam suratnya kepada ombudsman kepatuhan Bank Dunia Janine Ferretti.

Sementara itu, Masyarakat Banten secara resmi telah mengajukan pengaduan¹ terhadap Grup Bank Dunia yang secara tidak langsung mendukung pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Jawa 9 dan 10 ke Compliance Advisor Ombudsman (CAO), Rabu (13/9). Pembangunan PLTU baru tersebut akan memperluas wilayah kompleks PLTU Suralaya unit 1-8 sekaligus memasifkan dampak buruk atas kesehatan dan lingkungan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat setempat. 

Pengaduan itu diajukan oleh perwakilan masyarakat Suralaya bersama PENA Masyarakat, Trend Asia serta Inclusive Development International dan Recourse. Aduan tersebut memaparkan keterlibatan lembaga swasta pemberi pinjaman anak usaha Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC) dalam proyek tersebut. IFC tercatat terlibat melalui investasi ekuitas sebesar US$15,36 juta yang diberikan kepada kliennya sekaligus salah satu penyandang dana proyek PLTU Jawa 9 dan 10, Hana Bank Indonesia. Dalam aduannya, gabungan organisasi masyarakat tersebut menuntut agar pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 segera dihentikan serta memberikan kompensasi yang adil dan penuh atas kerugian yang telah diderita masyarakat sekitar PLTU.

Total kapasitas proyek PLTU Jawa 9 dan 10 mencapai 2.000 MW atau hampir 50% dari total kapasitas eksisting kompleks PLTU Suralaya unit 1-8. Ekspansi pembangunan PLTU baru ini akan menambah ancaman kesehatan yang telah dirasakan masyarakat, seperti masalah pernapasan (ISPA) akibat polusi udara dari debu batubara dan limbah beracun. Selain itu, proyek PLTU baru ini diperkirakan akan menyebabkan ribuan kematian dini dan akan melepaskan sekitar 250 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer selama 30 tahun masa operasi. (trendasia.org)

President Director Indo Raya Tenaga Peter Wijaya mengatakan PLTU Jawa 9 dan 10 menginisiasikan penggunaan amonia hijau dan hidrogen hijau dalam upaya mendukung kebijakan net zero emission. Jika pembangunan PLTU dirancang dengan konsep “ramah lingkungan”, tentu membutuhkan dana besar. 

Sekadar diketahui, amonia hijau dan hidrogen hijau adalah bahan bakar yang tidak menghasilkan emisi karbon dalam proses produksi dan penggunaannya. Penggunaan keduanya merupakan salah satu solusi transisi energi yang sudah mulai diadaptasi oleh negara-negara maju untuk bahan bakar pembangkit listrik dan kendaraan bertenaga listrik. 

Jika ini diterapkan pada proyek PLTU Jawa 9 dan 10, berapa banyak dana yang keluar? Jelas hal ini sangat berpeluang menarik pemodal atau investor untuk merealisasikan proyek ini. Imbasnya, PLTU hanya akan menjadi target komersialisasi listrik. Proyek jadi, rakyat disuruh beli jika ingin menikmati hasilnya.

Sebagaimana proyek-proyek lainnya, nasib PLTU yang mendapat kecaman aktivis lingkungan dan penentangan masyarakat, tidak lebih dari wujud keserakahan para kapitalis yang mengabaikan dampak buruk terhadap lingkungan. Pembangunan infrastruktur publik seperti pembangkit listrik tidak boleh menelan korban.

Fokus negara seharusnya pada aspek terpenuhinya pendistribusian instalasi listrik di semua daerah hingga daerah yang sulit terjangkau listrik. Terhadap wilayah yang tidak ada instalasi listrik, negara bisa membangun pembangkitnya sesuai kebutuhan masyarakat. Bukan malah memaksakan kehendak dengan membangun PLTU pada daerah yang memiliki kelebihan pasokan daya listrik.

Pandangan Islam
Dilansir dari Muslimahnews, Negara wajib menyediakan infrastruktur publik yang memadai. Dalam membangun infrastruktur tersebut, Islam menetapkan prinsip-prinisip yang harus diperhatikan.

Pertama, listrik merupakan bagian dari SDA yang jumlahnya sangat besar sehingga pembangunannya memerlukan peran negara. Dalam hal ini, negara membangun pembangkit beserta instalasi listrik agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari hasil pembangunan tersebut. Negara bisa memberikannya secara gratis atau rakyat membayar dengan harga yang sangat murah untuk mengganti biaya produksinya saja.

Kedua, negara memetakan wilayah-wilayah yang membutuhkan instalasi listrik sehingga pembangunan infrastruktur listrik tidak akan mubazir atau mengalami kelebihan daya. Pendistribusian listrik benar-benar dipastikan dapat dinikmati rakyat dari pusat kota hingga pelosok desa. Inilah yang akan diprioritaskan negara dalam menjalankan kewajibannya sebagai raa’in.

Ketiga, pembangunan dalam Islam berorientasi untuk kebaikan hidup manusia dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah Taala. Kebijakan negara tidak boleh membawa kemudaratan dan kezaliman. Dalam perencanaan pembangunan, negara harus melakukan analisis dampak kebijakan tersebut bagi lingkungan dan masyarakat.

Keempat, semua pembangunan infrastruktur publik dibiayai negara melalui baitulmal. Dalam pengelolaan kepemilikan umum, seperti SDA berupa batu bara, tambang, dan sebagainya, negara tidak boleh menyerahkannya kepada pihak lain baik dalam bentuk investasi asing, utang, swastanisasi, privatisasi, ataupun konsesi.

Kelima, negara memberikan edukasi secara menyeluruh tentang kewajiban menjaga lingkungan, memanfaatkan hasil SDA secara bijak, dan sanksi tegas bagi setiap individu yang merusak lingkungan, mengeksploitasi SDA dengan serampangan, dan segala aktivitas yang bisa mengancam keseimbangan alam dan lingkungan.

Demikianlah, visi pembangunan infrastruktur, yakni terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan tercapainya kemaslahatan dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam kaffah. 

Wallahua'lam


[beritaislam.org]

Posting Komentar untuk "Inilah Paradoks PLTU: Sumber Listrik dan Sumber Polusi"

Banner iklan disini