Dulu Sudah Diingatkan BPJS Haram, Tapi Ngeyal, Sekarang Rasakan Akibatnya!

BPJS Haram

Dulu HTI yang sekarang sudah dicabut badan hukumnya sudah mengingatkan tentang keharaman BPJS pada tahun 2015 yang lalu, Bahkan HTI pernah mendukung fatwa MUI tengtang keharaman BPJS.  Bahkan pendapat MUI tentang keharaman BPJS langsung disangkal Yusuf Kalla, dengan sombongnya Jusuf Kalla bilang "Haram Dari Mananya??"

Berikut Uraiannya.


HTI Dukung MUI Fatwakan Haram Atas BPJS

RMOLJabar. Sejak lama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengkritisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Kita sudah lakukan banyak kajian yg hasilnya sdh kita sampaikan ke banyak pihak, termasuk Pemerintah dan Dewan," ujar Juru bicara HTI Jabar Luthfi Afandi, Rabu (29/7).

Menurutnya tahun 2012 HTI sdh mengeluarkan pernyataan sikap yg menolak UU SJSN dan BPJS. Berbagai aksi damai penolakan pun sudah kita lakukan sekian lama di seluruh Indonesia.

"Syukur Alhamdulillah, jika kini (2015) MUI tegaskan mengharamkan MUI. Intinya secara umum, sejalan dengan pemikiran hizbut tahrir," ucapnya.

Luthfi juga mengutif peryataan sikap HTI saat akan diberlakukannya UU SJSN dan BPJS, menurutnya  berdasarkan telaahan terhadap UU 40/2004 Tentang SJSN dan UU 24/2011 Tentang BPJS, Hizbut Tahrir Indonesia menilai, Pertama, kedua UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial.

Padahal makna 'jaminan sosial' jelas berbeda sama sekali dengan 'asuransi sosial'. Jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syariat Islam.

Kedua, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi.

Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.

Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi.

Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b dimana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.

Berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

Menolak UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Mereka hanya akan menjadi obyek pemalakan dengan kedok jaminan sosial, sehingga rakyat yang sudah menderita akan semakin sengsara.


Menegaskan kepada seluruh rakyat bahwa hanya dengan penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah sajalah, negara akan benar-benar menyejahterakan rakyat, serta tidak menjadikan rakyat sebagai obyek pemalakan dengan dalih apapun sebagaimana dalam sistem kapitalis sekarang ini karena hal itu diharamkan oleh syariah Islam.[gun]

BPJS Bukan Saja Tidak Sesuai Syariah, Tapi Juga Haram [Globalmusim.web.id]

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

[Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

Pro-Kontra tentang BPJS kembali mencuat minggu lalu, setelah MUI menyatakan haram, melalui fatwa yang dikeluarkan dalam Ijtima’ MUI di Tegal beberapa waktu lalu. Meski kemudian melunak, setelah ada beberapa pihak yang menolak mengharamkannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua PBNU, Said Aqil Siradj. MUI pun kemudian menyatakan, bahwa BPJS belum sesuai dengan prinsip syariah.

Dalam Talkshow dengan TVOne, Dr. Syafii Antonio, menyatakan, bahwa masalah BPJS ini ada tiga. Pertama, terkait dengan ta’awun. Kedua, investasi. Ketiga, denda. Jadi, kalau ada yang belum sesuai dengan syariah, bisa diselesaikan dengan tiga skema tersebut. Tapi, benarkah, BPJS dengan produknya SJSN [Sistem Jaminan Sosial Nasional] itu hanya tidak sesuai dengan syariah, sehingga bisa disyariahkan? Ataukah, memang BPJS dan SJSN-nya memang haram dari asasnya, sehingga tidak mungkin disyariahkan?

Inilah yang hendak dibahas dalam tulisan ini. 

BPJS Produk Hadharah Non-Islam 

Penting didudukkan, bahwa BPJS-SJSN adalah produk pemikiran yang juga berbentuk pemikiran, sehingga bisa dikategorikan hadharah[peradaban]. BPJS-SJSN bukan produk pemikiran yang berbentuk fisik atau materi [asykal madiyyah], sehingga bisa disebut madaniyyah. Mengapa kategori ini penting?

Karena, alat ukur untuk menentukan status masing-masing berbeda. Begitu juga implementasinya secara praktis. Dalam konteksmadaniyyah, “sesuai” atau “tidak sesuai dengan syariah” merupakan alat ukur yang bisa digunakan. “Bertentangan” atau “tidak bertentangan dengan Islam” juga bisa menjadi alat ukurnya. Seperti lukisan makhluk, misalnya, jelas menyalahi syariah. Karena itu, lukisan makhluk hidup merupakan madaniyyah, yang diharamkan. Berbeda dengan lukisan alam atau makhluk yang tidak bernyawa, maka tidak haram.

Tetapi, alat ukur tersebut tidak bisa digunakan untuk menilai hadharah, sebagai produk pemikiran. Karena, meski tampak produk pemikiran tersebut “sesuai dengan Islam”, atau “tidak bertentangan dengan Islam”, tetapi jika tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, maka tetap saja produk pemikiran tersebut tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan. Sebagai contoh, demokrasi dengan musyawarahnya, adalah produk pemikiran yang tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam. Meski tampak sepintas musyawarah itu tidak bertentangan, atau sesuai dengan Islam, tetapi karena tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, tetap saja tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan.

Karena itu, banyak tokoh dan intelektual Muslim yang kecele, karena melihat dan menilai produk pemikiran tersebut dengan pandangan dan alat ukur yang salah. Sebagai contoh kasus permusyawaratan dalam sistem demokrasi, mereka sering mengatakan, “Apa yang salah dengan musyawarah?” Memang tidak ada yang salah dengan musyawarah. Karena Islam mengajarkan musyawarah, tetapi cara dan mekanisme musyawarah yang dibangun dengan akidah Islam berbeda sama sekali dengan cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi.

Lalu, ada yang mengatakan, “Kalau ada yang salah pada cara dan mekanismenya, mengapa tidak diubah saja, biar sesuai dengan Islam?” Padahal, dengan mengubah cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi agar sama dengan Islam tidak mungkin, kecuali dengan meruntuhkan demokrasi. Karena selama dasarnya demokrasi, cara dan mekanisme musyawarah dalam Islam tidak bisa diterapkan.

Inilah fakta dan realitas produk pemikiran yang lahir dan dibangun dengan akidah Kufur. Jadi, kesalahannya bukan terletak pada kulitnya, seperti lukisan atau patung makhluk hidup, yang bisa diubah dengan menghilangkan bagian-bagian yang menjadi ciri khas makhluk hidup. Karena BPJS-SJSN dan musyawarah-demokrasi ini merupakan masalah hadharah, bukan madaniyyah, seperti lukisan. Karena itu, BPJS-SJSN bukan saja tidak sesuai dengan syariah, tetapi juga haram secara mutlak, karena merupakan produk hadharah non-Islam.

Keharaman BPJS-SJSN ini bukan karena konsep ta’awun, investasi dan dendanya yang tidak sesuai dengan syariah, tetapi dari akarnya sudah salah. Karena, ia bukan produk pemikiran yang lahir dan berdasarkan akidah Islam. BPJS-SJSN Batil dari Akar-akarnya

Sistem jaminan sosial ini, baik dalam bentuk ketenagakerjaan, kesehatan maupun yang lain, sebenarnya lahir dari sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak mempunyai peran dan tanggungjawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara. Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain.

Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka. Nah, di sinilah akar masalahnya. Padahal, dalam Islam, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain adalah kewajiban negara, bukan rakyat.

Ketika sistem seperti ini dianggap menyengsarakan rakyat, mulailah dicari solusi. Solusinya dengan membuat BPJS-SJSN ini. Di negara-negara Barat, sistem jaminan sosial ini kemudian diikuti dengan cara dan mekanisme yang juga tidak kalah zalimnya. Sudahlah negara tidak bertanggungjawab menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyatnya yang lain, negara justru memalak mereka dengan mewajibkan rakyat untuk membayar premi.

Dengan kata lain, negara telah memindahkan tanggungjawab ini ke pundak rakyat. Ketika ini sudah ditetapkan sebagai kewajiban di pundak rakyat, maka ketika rakyat tidak membayar, mereka pun akan dikenai sanksi dan denda. Di sinilah, kezaliman sistem BPJS-SJSN ini. Bukan saja zalim, tetapi juga batil. Mengapa? Karena mu’amalah seperti ini tidak lahir dan berdasarkan akidah Islam, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Mengapa tidak bisa diperbaiki lagi? Karena, kesalahannya bukan hanya pada daun [buah]-nya, tetapi sejak dari akarnya. Ta’awun, Sanksi, Denda dan Investasi Bukan Akar Masalah

Menyederhanakan masalah BPJS-SJSN hanya dengan menyesuaikan masalah ta’awun, sanksi, denda dan invetasi agar sesuai dengan syariah jelas keliru. Karena, ini bukan akar masalahnya. Menyesuaikan masalah ta’awun, sanksi, denda dan invetasi dalam BPJS-SJSN agar sesuai dengan syariah, tanpa melihat akar masalahnya jelas salah.

Bahkan, tindakan seperti ini bisa dianggap menipu umat Islam. Karena itu artinya, konsep ta’awun, sanksi, denda dan invetasi yang dibangun berdasarkan sistem Kufur dipoles dengan “syariah”, sementara dasarnya bukan Islam. Padahal, ta’awun, sanksi, denda dan invetasi dalam kedua sistem tersebut jelas berbeda. Ini sama seperti kasus musyawarah dalam sistem demokrasi dengan Islam, jelas berbeda. Ta’awun, tolong-menolong atau gotong royong sebenarnya bukan akad, meski termasuk dalam kategori tasharruf. Karena, menolong atau membantu adalah kewajiban syara’ bagi yang mampu. Diminta atau tidak, ketika ada orang lain membutuhkan bantuan, maka hukum membantu atau menolongnya adalah wajib. Ini berlaku dalam kasus menolong orang sakit, misalnya. Namun, kewajiban ini tidak bisa dibebankan kepada semua orang. Terlebih, ketika kewajiban ini sebenarnya adalah kewajiban negara, sementara negara sendiri tidak menjalankan kewajibannya. Sudah begitu, kewajiban ini dibebankan kepada rakyat, yang seharusnya menjadi pihak yang mendapatkan hak yang menjadi kewajiban negara.

Nah, di sinilah letak batilnya konsep ta’awun BPJS-SJSN ini. Berbeda dengan Islam. Islam mengajarkan ta’awun, tetapi dalam konteks ini hanya bersifat pelengkap. Ketika, negara yang memang telah memenuhi kewajibannya kepada rakyat, tidak memiliki dana yang cukup untuk menunaikan kewajibannya. Dalam hal ini, negara boleh mengambil dana dari masyarakat dengan skema dharibah [pajak], yang diberlakukan sesuai dengan kebutuhan, bersifat temporal, dan hanya berlaku bagi kaum Muslim, pria dan mampu.

Jika konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN ini juga diasumsikan sama dengan skema dhaman dalam Islam juga keliru. Karena dhaman juga bukan akad, tetapi tasharruf yang berbentuk tabarru’ [bantuan suka rela]. Perbedaannya pun tampak jelas. Penanggung [dhamin], orang yang ditanggung [madhmun ‘anhu], pihak yang memperoleh pertanggungan [madhmun lahu] dan pertanggungan [dhaman]-nya sendiri diikat oleh ikatan tolong-menolong dengan suka rela [tabarru’]. Pihak yang menolong, dalam hal ini, penjamin [dhamin] tidak mendapatkan apa-apa dari pihak yang memperoleh jaminan [madhmun lahu], selain pahala dari Allah SWT.

Sementara konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN ini dibangun dengan prinsip benefit, sebagaimana dalam praktik asuransi. Peserta BPJS-SJSN sebagai penanggung [mu’ammin], BPJS sebagai pihak yang ditanggung [syarikatu at-ta’min], baik pihak yang memperoleh pertanggungan [mu’amman] adalah dirinya atau orang lain, dan premi yang dibayarkan per bulan [ta’min wa amn] jelas dibangun berdasarkan motif benefit. Bukan prinsip tabarru’. Karena itu, hubungan ta’awun dalam BPJS-SJSN tidak bisa dikategorikan sebagaitasharruf sepihak, atau ta’awun murni, tetapi tasharruf dua pihak, sehingga berstatus akad. Karena sudah melibatkan untung-rugi, dan nilai materi.

Sayangnya, obyek yang diakadkan, yaitu “pertanggungan terhadap resiko”, seperti sakit, kecelakaan dan sebagainya juga bukanlah jasa [manfa’at] atau barang [‘ain]. Karena bukan jasa dan barang, maka terhadapnya juga tidak bisa diberlakukan akad. Dari dua fakta ini saja sudah terbukti, bahwa konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN jelas batil, dan haram. Ta’awun dan Investasi Kog Dikenai Sanksi dan Denda?

Praktik ta’awun dalam Islam itu bersifat suka rela. Konsekuensinya, siapa yang tidak sanggup membantu, karena tidak mampu, tentu tidak akan dikenakan sanksi dan atau denda. Nah, dari sini saja sudah jelas berbeda dengan konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN. Karena itu, istilah ta’awun mestinya tidak layak digunakan, karena sifatnya yang memaksa, bukan suka rela. Mengapa, rakyat dipaksa, bahkan ketika tidak bisa membayar premi bulanan dikenai sanksi dan denda?

Adanya denda dan sanksi yang diberlakukan kepada rakyat yang tidak membayar premi bulanan dalam sistem SJSN-BPJS ini membuktikan, bahwa ini bukan ta’awun. Tetapi, kewajiban.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ini sebenarnya bukan kewajiban rakyat, tetapi kewajiban negara. Ketika rakyat dikenai sanksi dan denda, karena tidak menjalankan apa yang bukan menjadi kewajibannya, jelas ini merupakan kezaliman yang luar biasa.

Begitu juga, kalau ini dianggap sebagai investasi. Bukankah, investasi merupakan akad? Jika investasi merupakan akad, bukankah akad itu bersifat suka rela [ridha wa ikhtiar], tidak boleh dipaksa? Nah, dari kacamata apapun, baik Islam maupun Kapitalisme, orang yang melakukan akad tidak boleh dipaksa. Ketika orang melakukan akad dipaksa, maka akadnya itu sendiri tidak sah.


Karena itu, masalah BPJS-SJSN ini sangat kompleks sekali. Selama akar masalahnya tidak diselesaikan, maka permasalahan hukum yang kompleks dalam praktik SJSN-BPJS ini tidak akan bisa diselesaikan. Dengan kata lain, sistem ini bukan hanya fasid, tetapi batil. Jikafasid, mungkin bisa dipermak. Tetapi, jika batil, sistem ini tidak lagi bisa dipermak, melainkan harus diganti total dari akar-akarnya. Mempermak sistem yang batil dengan label syariah jelas merupakan kebohongan, pembodohan dan penyesatan kepada umat Islam. Wallahu a’lam.[www.globalmuslim.web.id]

Pendapat HTI  dan MUI tentang keharaman BPJS langsung disangkal Yusuf Kalla, dengan sombongnya Jusuf Kalla bilang Haram Dari Mananya??

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku belum tahu pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dinikmati masyarakat saat ini tidak sesuai syariah alias haram.

Kalla menyatakan, perlu digali lebih jauh alasan MUI menyatakan BPJS haram.


"Saya belum baca itu, tetapi yang dimaksud halal itu jelas. Agama Islam itu sederhana, selama tidak haram, ya halal. Pertanyaannya, apanya yang haram? Tentu perlu kita gali," kata Kalla di Jakarta, Rabu (29/7/2015).

Link: https://www.tribunnews.com/nasional/2015/07/29/fatwa-mui-bpjs-kesehatan-haram-jk-apanya-yang-haram

Sudah diingatkan tapi ngeyel, sekarang rasakan akibatnya!

BPJS Defisit Terus! [Liputan 6]

Akhir September 2018, BPJS Kesehatan Defisit Rp 7,95 Triliun [katadata]

DPR Tolak Usul Sri Mulyani Naikkan Iuran BPJS Kesehatan [cnn]

Jika Iuran Tak Naik, Defisit BPJS Kesehatan Bisa Capai Rp 77,9 Triliun [kompas]

Belum lagi permasalahan penanganan pasien BPJS yang amburadul. Tak mau dengar ulama, silakan rasakan akibatnya!

Posting Komentar untuk "Dulu Sudah Diingatkan BPJS Haram, Tapi Ngeyal, Sekarang Rasakan Akibatnya!"

Banner iklan disini