Solusi Tuntas Kasus Pemerkosaan anak oleh 11 pria di Sulteng, Sudahkah Dilakukan?

Ilustrasi medialampung


Berita
islam
- Belum lama ini, kejadian kekerasan seksual terhadap anak remaja membuat masyarakat sangat geram. Betapa tidak, kasus menggemparkan terjadi menimpa seorang anak remaja berusia15 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Parimo, Sulteng), ia menjadi korban pemerkosaan oleh 11 orang pria, salah satu pelakunya diduga seorang anggota Brimob. Demi menjalankan aksi bejat pelaku, korban diduga dicekoki terlebih dahulu dengan narkoba dan miras hingga mabuk. Tentu hal ini membuat masyarakat bertanya siapa yang seharusnya bertanggungjawab agar  kasus seperti ini tidak terus berulang, karena pada faktanya kasus kekerasan seksual seperti gunung es, tidak pernah ada solusi yang membuat efek jera dan mampu menghentikannya secara tuntas.

Pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti meminta kepolisian menelusuri dugaan prostitusi anak dalam kasus yang menimpa gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pasalnya, para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan uang. Hingga Selasa (30/05) Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku. (bbccom, 31/5/20203)

Mirisnya, dalam konferensi pers, Irjen Agus Nugroho menyampaikan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah atau ABG berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) bukan sebuah pemerkosaan. Agus lebih memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan. Hal itu karena tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus ABG tersebut. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyoroti pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho kasus pemerkosaan terhadap anak baru gede (ABG) berusia 15 di Parigi Moutong (Parimo). Dia menilai pernyataan Agus yang menyebut kasus tersebut bukan tindak pidana pemerkosaan tidak sensitif terhadap gender. 

Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja, Kasus Gunung Es
Kasus kekerasan seksual ini masih menjadi pokok permasalahan penting yang di hadapi bangsa ini. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada tahun 2021 lalu yang mencapai 8.730.

Data tersebut berasal dari laporan yang didapatkan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Dari data-data tersebut dapat dilihat masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia ini, namun sejauh ini pemerintah yang seharusnya memberikan solusi agar tidak lagi terjadi kasus serupa belum menampakan hasilnya. 

Data-data di atas tentu sangat memprihatinkan sekaligus mencoreng wajah Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tampak nyata, kemusliman penduduknya tidak mencegahnya untuk terjerumus ke dalam gaya hidup liberal, sebagaimana di negara-negara sekuler di dunia Barat. Kondisi ini sekaligus menegaskan bahwa Indonesia—diakui atau tidak—sebenarnya juga telah menerapkan sekularisme.

Kekerasan seksual banyak mengincar kalangan remaja, karena sebagian dari mereka masih mudah untuk dipengaruhi dan diiming-imingi sesuatu, mereka belum mempunyai pendirian dan kematangan berpikir untuk mampu menilai apakah yang mereka lakukan berbahaya bagi mereka.  Terutama dalam pergaulannya para remaja masih banyak salah dalam memilih pergaulan bebas sehingga mereka terjerumus kedalam hal-hal yang tidak benar karena pergaulan memberi pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan emosi dan mental bagi remaja.

Solusi Sekuler Selalu Gagal
Menghadapi tingginya kasus kekerasan seksual dengan pelaku dan korban dari anak, banyak pihak mencoba menawarkan solusi. Empat Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) berkomitmen melakukan koordinasi tentang pemantauan, pencegahan, dan penanganan korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) melalui sejumlah kegiatan.

Bentuk koordinasi dan pemantauan keempat lembaga, menurut Atnike, dilakukan secara mandiri maupun bersama jika dibutuhkan. Ia meyakini implementasi UU TPKS dilaksanakan secara efektif dan mencegah TPKS terulang melalui komitmen kerja sama LNHAM.

Komitmen tersebut diwujudkan melalui Kesepakatan Bersama antara Komnas HAM, Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) tentang Koordinasi dan Pemantauan, Pencegahan, dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Seremonial penandatanganan ini dilakukan di tengah rangkaian kegiatan Peringatan Satu Tahun UU TPKS yang ditandatangani oleh para Ketua LNHAM. (komnasham.go.id, 12/5/2023)

Sejatinya, solusi-solusi semacam ini bukanlah solusi yang bisa menuntaskan masalah. Pemberlakuan hukuman dengan pemberatan sudah lama ada setelah pengesahan Perppu 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Kejadian kekerasan seksual terhadap anak toh tidak berkurang. Begitu pun pendidikan seks yang katanya sudah masuk kurikulum pembelajaran, alih alih mencegah, justru malah merangsang remaja melakukan pergaulan bebas. Sementara, deteksi dini tidak mampu mencegah karena baru melakukan deteksi setelah ada kejadian. Solusi-solusi semacam ini adalah solusi sekuler yang hanya bertolak dari fakta, serta menyelesaikan fakta tersebut di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan.

Tanggung Jawab Paling Besar Ada di Pundak Negara
Dilansir dari muslimahnews, ada beberapa pihak yang bertanggung jawab dalam maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pertama, keluarga yang lalai menjalankan fungsi pendidikan, terutama pendidikan seks terhadap anak sehingga memudahkan pelaku melakukan perbuatan bejatnya. Kedua, lingkungan masyarakat yang permisif dan tidak acuh sehingga membuat pelaku kejahatan bebas melakukan aksinya. Ketiga, negara. Pembahasan peran negara umumnya hanya sebatas sebagai pemberi sanksi. Sanksi kejahatan seksual terhadap anak yang hanya maksimal 15 tahun penjara dianggap terlalu ringan. 

Kalau kita mau menelaah secara mendalam, sebenarnya negaralah yang semestinya menempati posisi sebagai pihak paling bertanggung jawab atas terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Mengapa demikian? Pada dasarnya, penyebab munculnya kekerasan seksual terhadap anak ini adalah penyebab yang bersifat sistemis. Yang disebut sebagai penyebab selama ini pada hakikatnya adalah akibat dari penerapan sistem sekularisme, liberalisme, dan demokrasi yang merupakan anak-anak dari kapitalisme. 

Kelalaian keluarga untuk membentengi anak adalah dalam hal kelalaian terhadap pendidikan agama. Orang tua lalai karena mereka sendiri tidak paham agama atau tidak berkesempatan mengajarkannya akibat kesibukan kerja. Ini adalah dampak dari abainya negara terhadap pendidikan agama, serta penerapan ekonomi kapitalistik yang memaksa para ibu untuk juga bekerja. Anak pun menjadi korban, tidak mendapat perhatian dan didikan dengan benar. Orang tua menyerahkan anak begitu saja ke lembaga-lembaga pendidikan yang kadang justru menjadi tempat anak mendapatkan pelecehan seksual. 

Masyarakat yang rusak juga merupakan akibat pembiaran negara atas merajalelanya virus kebebasan (liberalisme). Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu tanpa memandang akibatnya. Negara membiarkan masyarakat, bahkan anak-anak, berhadapan dengan serbuan pornografi dari berbagai media massa, terutama internet. Alasannya, negara tidak mampu mengontrol semua situs yang beredar. Padahal, Malaysia, Cina, dan beberapa negara lain bisa menerapkan mekanisme pengontrolan situs porno.

Dari sisi implementasi hukum, negara kita memiliki hukum yang lemah terhadap kejahatan dengan anak sebagai korban. Kejahatan seksual terhadap anak hanya mendapat ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, bisa terpotong remisi dan masa percobaan setelah menjalani 2/3 masa hukuman, totalnya mungkin hanya 8 atau 9 tahun hukuman yang harus pelaku jalani. Hukum demikian merupakan hasil penerapan demokrasi yang menyerahkan penyusunannya kepada pikiran dan akal manusia yang sifatnya terbatas. Rasa iba manusia menyebabkan hukuman rajam, kisas, atau hukuman di hadapan khalayak menjadi tertolak. Prinsip HAM lebih dikedepankan daripada hukum Allah. Pelaku kejahatan hanya mendapat hukuman penjara sementara waktu. Akibatnya, hukum menjadi mandul, tidak berefek pencegahan, bahkan tidak membuat pelaku jera. Dengan demikian, dalam masalah kekerasan seksual terhadap anak, negara adalah satu-satunya pihak yang mampu menyelesaikan secara tuntas.

Islam Menjadikan Negara sebagai Pelindung Anak
Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki mekanisme untuk mencegah dan mengatasi masalah kekerasan seksual terhadap anak. Secara sistem, hanya penerapan Islam secara sempurna yang menjamin penghapusan tindak kekerasan terhadap anak. Islam juga satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiyah. Selain itu, Islam merupakan akidah siyasi, yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur setiap aspek kehidupan. Penerapan aturan Islam ini terbebankan pada negara. Rasulullah saw. bersabda terkait tanggung jawab pemimpin negara, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim). Dalam hadis lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Utuh dalam Semua Sektor
Upaya perlindungan negara agar anak tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual merupakan perlindungan terpadu yang utuh dalam semua sektor. Pada sektor ekonomi, mekanisme pengaturannya dengan menjamin nafkah bagi setiap warga negara, termasuk anak yatim dan telantar. Islam juga membebaskan perempuan dari kewajiban mencari nafkah sehingga mereka bisa berkonsentrasi sebagai ibu dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Negara wajib menjaga agar suasana takwa senantiasa hidup di masyarakat. 

Negara pun melakukan pembinaan agama, baik di sekolah, masjid, dan lingkungan perumahan. Hal ini karena ketakwaan individu merupakan pilar pertama bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Orang tua juga harus paham hukum-hukum fikih terkait anak sehingga bisa mengajarkan hukum Islam sedari mereka kecil, seperti menutup aurat, mengenalkan rasa malu, memisahkan kamar tidur anak, dan lain-lain.

Dakwah Islam juga akan mencetak masyarakat yang bertakwa yang bertindak sebagai kontrol sosial untuk mencegah individu melakukan pelanggaran. Jadilah masyarakat sebagai pilar kedua dalam pelaksanaan hukum syarak. Kemudian negara mengatur mekanisme peredaran informasi di tengah masyarakat. Media massa di dalam negeri bebas menyebarkan berita, tetapi tetap terikat kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di masyarakat. 

Bila ada yang melanggar ketentuan ini, negara akan menjatuhkan sanksi kepada penanggung jawab media. Untuk media asing, negara akan memantau konten-kontennya agar tidak ada pemikiran dan hadharah (peradaban) yang bertentangan dengan akidah dan nilai-nilai Islam. Dengan mekanisme ini, pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme, dan sejenisnya dapat tercegah masuk ke dalam negeri. Negara pun mengatur kurikulum sekolah yang bertujuan membentuk kepribadian Islam bagi para siswa. Kurikulum ini berlaku untuk seluruh sekolah yang ada di dalam negara, termasuk swasta. 

Sedangkan keberadaan sekolah asing di dalam wilayah negara akan dilarang. Dalam aspek pergaulan antara laki-laki dan perempuan, negara membuat aturan berdasarkan hukum-hukum syarak. Aturan ini bertujuan mengelola naluri seksual pada laki-laki dan perempuan dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Oleh karena itu, negara akan mempermudah pernikahan, bahkan wajib membantu para pemuda yang ingin menikah, tetapi belum mampu secara materi. Sebaliknya, kemunculan naluri seksual dalam kehidupan umum dapat tercegah. Laki-laki dan perempuan wajib menutup aurat, menahan pandangan, menjauhi ikhtilat (interaksi laki-laki dan perempuan) yang diharamkan, dan lain-lain. Dengan metode ini, aurat tidak akan dipertontonkan dan seks tidak diumbar sembarangan.

Sanksi Tegas
Negara akan menghukum tegas para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pemerkosa mendapat 100 kali cambuk (bila belum menikah) dan hukuman rajam (bila sudah menikah). Penyodomi dibunuh. Jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan, terkena denda 1/3 dari 100 ekor unta atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina. (Abdurrahman al-Maliki. 1990. hlm. 214—238). Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan. Penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan dengan tuntas masalah kekerasan terhadap anak. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang, dan calon generasi terbaik. Akan tetapi, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh. Wallahualam.

[beritaislam.org]

Posting Komentar untuk "Solusi Tuntas Kasus Pemerkosaan anak oleh 11 pria di Sulteng, Sudahkah Dilakukan?"

Banner iklan disini