Akhir Zaman Demokrasi di Indonesia, Lalu Muncul Apa?

Polisi Hajar Mahasiswa
Ilustrasi Mahasiswa HMI MPO Jakarta dihajar polisi
Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Apakah Indonesia bangga disebut sebagai negeri muslim yang mampu bersanding dengan demokrasi? Puja-puji negara lain terkait demokratisasi di Indonesia dengan hasil pemilunya, apa cukup menunjukkan demokrasi yang sehat? Tidakkah pernah terbesit bahwa masa sekarang ini ialah tanda akhir zaman demokrasi di Indonesia. Tiada lagi berharap pada demokrasi yang telah melahirkan turunan jahat, semisal korupsi, trias coruptica, penyelewangan kekuasaan, dan segala bentuk intimidasi pada rakyat dengan kebijakan yang selalu merugikan.


Kehidupan berpolitik di Indonesia bisa dikatakan mengalami sakit akut. Rezim diserang oleh rakyatnya sendiri dan elit-elit yang berebut remah-remah kekuasaan. Euforia di setiap pemilu selalu menimbulkan luka dan pilu tak berkesudahan. Hal yang paling menyakitkan ialah berpalingnya politisi dari konstituen yang memilih. Alhasil, luapan kekecewaan rakyat begitu kuat hingga ada pergerakan liar menggoyang kursi kekuasaan.

Selalu ada ketidakpastian mengenai bagaimana seorang politikus tanpa rekam jejak akan berperilaku ketika memegang jabatan. Pemimpin berwajah demokratis, tapi sesungguhnya anti-demokrasi bisa dikenali sebelum berkuasa dan saat berkuasa. Bahkan sebelum dilantik pun, dapat dikenali tandanya dengan ciri-ciri berikut. Tampaknya ini menjadi tanda akhir demokrasi di Indonesia. Bisa jadi demokrasi menjadi batu pijakan memunculkan otoritariansi.

Sebagaimana dirujuk dari “How Democracies Die” (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt):

Pertama, penolakan (komitmen lemah) terhadap aturan main demokratis. Ciri ini ditandai dengan membatasi hak sipil atau politik, melarang organisasi tertentu, merusak legitimasi pemilu, menolak konstitusi dan kesediaan melanggarnya. Di Indonesia pun peristiwa pencabutan BHP dengan Perppu Ormas, legislasi berupa UU yang ditolak karena menyederai publik, pemilu yang sarat dengan unsur jauh dari demokratis, serta pengaborsian aspirasi politik dari oposisi.

Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Hal ini ditandai dengan menyebut lawan sebagai melaku ‘makar’ atau menentang konstitusional yang ada. Menyatakan lawan adalah ancaman eksistensial, baik bagi keamanan nasional maupun cara hidup umum. Sering menuduh tanpa dasar lawan partisan sebagai kriminal yang dianggap melanggar hukum (atau berpotensi) dan tak memenuhi syarat ikut serta dalam arena politik. Di Indonesia, penyebutan makar dialamatkan pada gerakan (Islam) yang berupaya menyelamatkan negeri ini dengan syariah Islam. Juga pada gerakan atau individu yang ingin negara khilafah sebagai solusi bagi carut marut dunia. Sebutan radikal kerap menyasar Islam, tapi tidak dengan kelompok separatisme. Lawan politik pun dijerat dengan ragam tuduhan ujaran kebencian dan menyebar hoax.

Ketiga, toleransi atau anjuran kekerasan. Secara tidak langsung menyetujui kekerasan yang dilakukan pendukung dengan menolak mencela dan menghukum pendukungnya. Pun juga memuji tindakan kekerasan politik pada masa lalu atau di tempat lain. Di Indonesia fase ini tampak dalam ketidakadilan penanganan kritik dan anti-kritik. Kelompok yang ditengarai pro-rezim sering dibiarkan bebas melakukan apa pun. Laporan terkait ujaran kebencian di media sosial yang dilakukan pendukung sering tidak diproses cepat. Sebaliknya, kritik tajam kepada pemerintahan serin cepat diproses dengan dalih melanggar UU ITE.

Keempat, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. Mendukung hukum dan kebijakan yang membatasi kebebasan sipil seperti perluasan hukum pencemaran nama baik atau penistaan. Hukum yang membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, atau organisasi sipil atau politik tertentu. Begitu pun pernah mengancam akan melakukan tindakan hukum atau lainnya terhadap pengkritik di partai lawan, masyarakat sipil, atau media. Yang lebih berbahaya lagi memuji tindakan represif yang dilakukan pemerintah lain pada masa lalu atau di tempat lain. Di Indonesia, seiring protes dan demo besar, media dan jaringan internet dibatasi bahkan diblokir. UU ITE, ujaran kebencian, dan pembungkaman sikap kritis rakyat menjadi palu godam. Media kritis yang masih memegang nilai jurnalistik independen pun mulai diawasi. Penganiayaan wartawan ketika meliput kegiatan unjuk rasa oleh pihak tertentu.

Alhasil, dengan merujuk pada empat poin dan berkaca pada perisitiwa yang mengiringinya, Indonesia di titik nadhir demokrasi. Tak perlu berbangga disebut negeri muslim yang bergandengan dengan demokrasi. Faktanya, Islam dan demokrasi tidak akan bisa disatukan. Islam berasal dari wahyu yang suci. Demokrasi berasal dari buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas akalnya. Menyamakan demokrasi dan Islam seperti menyamakan air dengan minyak.

Adapun studi yang mencoba mengaitkan Islam demokrasi merupakan upaya sia-sia. Sebab asas demokrasi adalah liberalisme dengan akar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Alhasil, tanda kehancuran demokrasi di Indonesia sudah tampak, tinggal menunggu pergantian rezim satu ke rezim yang lain. Pergantian dari sistem politik demokrasi ke sistem politik yang diridhoi Allah Swt.

Bukti dari akhir zaman demokrasi di Indonesia ialah kecerdasan rakyat untuk kembali kepada agamanya. Ini bukan soal politik primordial dan identitas. Ini adalah cara alamiah manusia mencari solusi di tengah kebuntuan dan despotik demokrasi. Demokrasi telah menumbuhsuburkan demagog (provokator) otoritarianisme. Lalu, era akhir zaman dengan kerinduan kepada model politik kenabian akan mendapatkan tempat, bahkan akan menjadi mercusuar peradaban keagungan Islam. Ya, dalam waktu dekat dan tak lama lagi. Saksikanlah!

1 komentar untuk "Akhir Zaman Demokrasi di Indonesia, Lalu Muncul Apa?"

  1. Saya setuju islam dan demokrasi tidak dapat disatukan, nice article.

    BalasHapus
Banner iklan disini